http://zempat.blogspot.com/Makalah-Hukum-Rokok-Dan-Merokok-Dalam-konsep-Islam
Oleh: Fhaw Zhand
I. PENDAHULUAN
Bagaimana Islam memandang Rokok? apakah ada dalil yang jelas dalam menetapkan Hukum Rokok? Lalu bagaimana Hukum Bagi mereka Yang Merokok? Apakah Ada Dampak Merokok dan Dampak Negatif rokok dan merokok bagi kesehatan?
Pertanyaan ini merupakan dasar utama sebahagian orang benci terhadap
rokok. Tidak sedikit yang sangat anti dengan rokok, namun banyak juga
yang suka dengan rokok dengan dalil makruh yang tidak jatuh kedalam
hukum haram dalam merokok.
Makalah Ini Khusus Membahas mengenai Hukum Rokok serta Merokok menurut
Kalangan Ulama dalam Konsep Dasar Hukum Islam. Nantinya diharapkan dalam
membaca makalah ini dapat memberikan pemahaman yang jelas menganai
dasar hukum rokok itu sendiri.
II. PEMBAHASAN
Makalah Hukum Rokok Dan Merokok Dalam konsep Islam
A. Hukum Dan Status Rokok Dalam Pendangan Ulama
1. Menurut Imam Ibnu ’Abidin rahimahullah
Di dalam Kitab Radd al-Muhtaar, Imam Ibnu ’Abidin rahimahullah
menyatakan, ”Pendapat para ulama mengenai masalah ini (rokok) tidaklah
seragam. Sebagian ulama berpendapat bahwa rokok hukumnya makruh;
sebagian yang lain mengharamkannya, dan sebagian yang lain
memubahkannya. Masing-masing menyatakan pendiriannya dalam karya-karya
mereka.”[1]
Masih menurut beliau, ”Di dalam Kitab Syarah al-Wahbaaniyyah karya Imam
al-Surunbulaliy , beliau menyatakan, ”Dilarang jual beli rokok dan
meminumnya (menghisapnya). Orang yang menghisap rokok di saat puasa
tidak diragukan lagi ia telah berbuka. Di dalam Syarah al-Allamah Syaikh
Isma’il al-Nablusiy, orang tua dari guru kami, ’Abd al-Ghaniy, terhadap
kitab Syarah al-Durari, disebutkan bahwa seorang suami punya hak
melarang isterinya memakan bawang putih, bawang merah, dan semua makanan
yang menyebabkan mulut berbau…Gurunya guru kami, al-Musayyaraiy dan
yang lainnya, memberikan fatwa larangan menghisap tembakau.” [Ibnu
’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266]
’Allamah Syaikh ’Ali al-Ajhuriy memiliki sebuah risalah (tulisan) yang
membolehkan menghisap tembakau. Di dalam tulisan itu disebutkan
bahwasanya orang yang memberi fatwa bolehnya menghisap tembakau
bersandar kepada Imam empat madzhab[2].
Ibnu ’Abidin menyatakan, ”Saya katakan, ”Ulama yang juga mengarang
tulisan yang membolehkan menghisap tembakau adalah guru kami yang arif,
’Abdul Ghaniy al-Nablusiy. Tulisan itu berjudul al-Shulhu bain
al-Ikhwaan fi Ibaahat Syurb al-Dukhaan. Beliau telah menjelaskan dengan
sangat baik masalah ini dalam karya-karyanya. Beliau mengkritik dengan
sangat keras orang-orang yang mengharamkan atau memakruhkan tembakau.
Sebab, keduanya (haram dan makruh) adalah hukum syariat yang harus
disandarkan pada dalil. Padahal tidak ada satupun dalil yang menunjukkan
hukum itu. Pasalnya, tidak terbukti bahwa tembakau itu memabukkan,
melemahkan, atau membahayakan (dlarar). Tetapi justru terbukti bahwa ia
memiliki beberapa manfaat. Hukum tembakau (rokok) masuk dalam kaedah
”al-ashl fi al-asyyaa’ ibaahah” (hukum asal dari benda adalah mubah).
Sesungguhnya beberapa dlarar yang terkandung di dalamnya tidak
menjadikan keseluruhannya haram. Madu bisa membahayakan orang yang
terkena penyakit kuning akut. Seandainya Allah swt menetapkan keharaman
atau kemakruhan tembakau, maka pastilah ada dalil yang menunjukkannya.
Akan tetapi, jika tidak ada, maka harus dinyatakan bahwa mubah adalah
hukum asalnya. Nabi Saw tawaqquf (menahan diri) dalam masalah
pengharaman khamer sebagai umm al-khabaaits (induk segala barang yang
menjijikkan); padahal beliau adalah musyarri’, hingga turun nash qath’iy
pada dirinya….”.[3]
2. Dalam Haasyiyyah al-Bajiiramiy
Di dalam Haasyiyyah al-Bajiiramiy disebutkan, ”Jika penguasa
memerintahkan perkara-perkara mubah yang di dalamnya terdapat
kemashlahatan bagi orang banyak, semacam menghisap rokok, maka, rakyat
wajib mentaatinya.[4]”
Di dalam Fatawa al-Azhar, ’Abdurrahman Qaraa’ah menyatakan, ”Menghisap
rokok tidak pernah terjadi di masa Nabi saw, Khulafaaur Rasyidin,
shahabat, maupun tabi’in. Menghisap rokok terjadi pada masa-masa
belakangan. Para ulama berpendapaty pendapat dalam masalah ini. Sebagian
mereka mengharamkannya, dan sebagian lagi memakruhkan. Sebagian lagi
memubahkannya. Saya (’Abdurrahman Qara’ah) menguatkan pendapat yang
memakruhkannya…”[5]
Adapun Hasanain Mohammad Makhluf menguatkan pendapat yang memubahkannya.
Di dalam Fatawa al-Azhar, beliau menyatakan, ”Kami menyatakan;
ketahuilah, sesungguhnya hukum menghisap rokok adalah hukum ijtihaadiy.
Pendapat para fukaha dalam masalah ini tidaklah seragam. Yang benar
menurut kami adalah sebagaimana yang disebutkan di dalam Kitab Radd
al-Muhtaar; bahwa hukum menghisap rokok adalah mubah. Orang-orang yang
bersandar kepada imam empat madzhab telah memfatwakan kebolehannya;
seperti penuturan dari al-’Allamah al-Ajhuuriy al-Maalikiy di dalam
tulisannya.” [6]
3. Menurut Lajnah al-Daaimah li al-Buhuuts wa al-’Ilmiyyah wa al-Iftaa’
Menurut Lajnah al-Daaimah li al-Buhuuts wa al-’Ilmiyyah wa al-Iftaa’,
menghisap rokok hukumnya adalah haram. Di dalam Kitab Fatawa Lajnah
al-Daaimah li al-Buhuuts wa al-’Ilmiyyah wa al-Iftaa’ disebutkan,
”Menghisab rokok hukumnya haram. Orang yang terlanjur menghisap rokok,
ketika hendak masuk ke dalam masjid wajib membersihkan mulutnya untuk
menghilangkan bau busuk mulutnya, dan untuk mencegah dlarar dan gangguan
bau rokok bagi orang-orang yang sholat. Akan tetapi, menghisap rokok
tidaklah membatalkan wudhu.”[7]
Demikianlah, para fukaha kontemporer berselisih pendapat mengenai status
hukum rokok. Ada tiga pendapat masyhur dalam masalah ini; haram,
makruh, dan mubah. Lantas, mana pendapat rajih yang wajib kita ikuti?
Untuk menjawab pertanyaan ini harus diketahui terlebih dahulu pandangan
syariat Islam terhadap hukum asal benda, baru setelah itu hukum-hukum
derivatifnya.
B. Hukum Asal Benda
Pada dasarnya, para ulama sepakat bahwa benda hanya memiliki dua status
hukum saja, yakni yakni halal dan haram. Sedangkan hukum atas perbuatan
manusia ada lima, yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.
Para ulama juga sepakat bahwa hukum asal benda adalah mubah, selama
tidak ada dalil yang melarangnya. Ketentuan ini didasarkan pada firman
Allah SWT:
قُلْ
لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ
إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ
فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
”Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali
kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi
–karena sesungguhnya semua itu kotor– atau binatang yang disembelih atas
nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka
sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-An’aam
(6): 145)
Ayat ini dengan sharih menyatakan bahwa tidak ada benda yang diharamkan
oleh Allah swt, kecuali benda-benda yang disebut di dalam ayat ini.
Hanya saja, karena ayat ini Makiyyah, maka benda-benda yang diharamkan
hanya sebatas pada bangkai, darah yang mengalir, babi, dan binatang yang
disembelih atas nama selain Allah. Setelah itu, Syaari’ menambah
jenis-jenis benda yang diharamkan, baik yang disebutkan di dalam
al-Quran maupun hadits-hadits shahih; semacam binatang bertaring dan
berkuku tajam, binatang jalalah, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, ayat ini dengan sharih menyatakan bahwa hukum asal dari
benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.
Di ayat lain, Allah SWT berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
”Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…” (Qs. al-Baqarah (2): 29 )
Imam Syaukaniy di dalam Kitab Fath al-Qadiir menyatakan, ”Ayat ini
merupakan dalil yang menunjukkan bahwa hukum asal dari benda yang
diciptakan adalah mubah, hingga ada dalil yang memalingkan hukum asalnya
(mubah)…” [Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 1, hal. 64]
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
”Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?” (Qs. al-A’raaf (7): 32); dan masih
banyak ayat lain yang memiliki pengertian senada. Berdasarkan ayat-ayat
di atas dapat dipahami dua hal penting.
الأ صل فى الأشياء اباحة ما لم يرد دليل التحريم
“Hukum asal dari benda adalah mubah selama tidak dalil yang mengharamkan”
Walhasil, semua benda yang ada di alam ini telah ditetapkan kemubahannya
oleh Allah SWT, kecuali benda-benda tertentu yang diharamkanNya.
C. Status Hukum Rokok
1. Hukum Asal Rokok
Tembakau dan cengkeh yang menjadi bahan utama pembuatan rokok adalah
benda-benda yang berhukum mubah. Sebab, tidak ada satupun nash sharih
yang mengharamkan keduanya, baik dalam al-Quran maupun sunnah. Dalam
keadaan seperti ini; status hukum tembakau dan cengkeh harus
dikembalikan kepada konteks hukum asalnya, yakni mubah.
Jika benda-benda tersebut (tembakau dan cengkeh) digunakan secara
bersama-sama atau terpisah, maka penggunaannya diperbolehkan. Dengan
demikian, produk yang menggunakan bahan baku tembakau, cengkeh, atau
benda-benda mubah lainnya, mengikuti hukum bahan bakunya. Jika bahan
bakunya berhukum mubah, maka produk olahannya juga berhukum mubah. Oleh
karena itu, selama rokok dibuat dari bahan-bahan mubah, maka status
hukum rokok juga mubah, bukan haram atau makruh.
‘Allamah ’Abd al-Ghaniy An Nablusiy, di dalam tulisannya menyatakan
bahwa tidak ada satu pun dalil syariat yang mengharamkan ataupun
memakruhkan rokok; juga tidak terbukti bahwa rokok itu memabukkan,
melemahkan, atau menimbulkan bahaya secara umum pada orang yang
menghisapnya, hingga ia menjadi haram atau makruh. Oleh karena itu,
rokok termasuk dalam kaedah ”al-Ashl fi al-Asyyaa’ Ibaahah”[8].
Di dalam Kitab Fatawa al-Azhar, ”…Pendapat yang terpilih adalah yang
pertama (hukum asal dari sesuatu adalah mubah). Pasalnya, seperti yang
dituturkan dalam Kitab al-Tahrir, menurut jumhur Hanafiyyah dan
Syafiyyah, pendapat yang kuat adalah hukum asal dari benda adalah
mubah…”[9]
Ini dari sisi status hukum bendanya. Adapun dari sisi hukum perbuatannya, yakni merokok; harus ada perincian lebih mendalam.
Pertama , jika seseorang merokok, dan menyebabkan bahaya secara pasti
pada dirinya (muhaqqah), maka orang tersebut dilarang merokok,
dikarenakan telah tampak bahaya yang nyata bagi dirinya. Sebab, jika
benda mubah mengandung atau menimbulkan dlarar (bahaya) bagi individu
tertentu; dan dlararnya bersifat muhaqqah (terbukti) bagi individu
tersebut, maka benda itu haram dikonsumsi oleh individu itu; sedangkan
hukum asal benda tersebut tetaplah mubah, bukan haram. Udang misalnya,
hukum asalnya adalah mubah. Akan tetapi, bagi orang-orang tertentu,
udang bisa mendatangkan bahaya (dlarar) yang bersifat muhaqqah. Dalam
kondisi semacam ini; orang tersebut dilarang (haram) mengkonsumsi udang,
dikarenakan telah terbukti bahaya udang bagi dirinya. Hanya saja, hukum
asal udang tetaplah mubah, bukan haram. Sebab, adanya dlarar (bahaya)
pada benda-benda mubah, tidaklah mengubah status kemubahan dari benda
tersebut[10].
Oleh karena itu, individu-individu lain tetap diperbolehkan mengkonsumsi
udang semampang tidak menyebabkan dlarar yang bersifat muhaqqah bagi
dirinya.
Ketentuan di atas didasarkan pada riwayat yang dituturkan oleh Ibnu
Hisyam di dalam Kitab Siirahnya, ”Ketika Rasulullah saw melintas di
Hijr, beliau berhenti di sana. Pada saat itu, orang-orang meminum air
dari sumur Hijr. Ketika, para shahabat sedang istirahat, beliau saw
bersabda, ”Janganlah kalian minum dari air sumur Hijr, janganlah kalian
berwudluk dengan airnya untuk sholat. Adonan roti apapun yang kalian
buat dengan menggunakan airnya, berikanlah kepada onta, dan janganlah
kalian memakannya sedikitpun. Dan janganlah seorang diantara kalian
keluar malam sendirian, kecuali ditemani oleh temannya.
Para shahabat melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Nabi Saw, kecuali
dua orang laki-laki dari Bani Sa’idah. Salah satu dari orang itu keluar
untuk memenuhi urusannya, sedangkan yang lain keluar untuk mencari onta
miliknya. Adapun orang yang pergi untuk memenuhi urusannya, ia jatuh
sakit. Sedangkan orang yang pergi untuk mencari ontanya, ia diterbangkan
angin hingga terlembar di Jabalaiy Thaiyyi’.
Kejadian ini disampaikan kepada Rasulullah Saw. Beliau bersabda,
”Bukankah aku telah melarang kalian agar tak seorangpun diantara kalian
pergi sendirian, kecuali disertai teman? Lalu, beliau Saw mendoakan
orang yang jatuh sakit ketika hendak bepergian, dan sembuhlah ia dari
sakitnya. Sedangkan laki-laki lain yang jatuh di Jabalaiy Thaiyyi`,
sesungguhnya kabilah Thai` menunjukkan kepada Rasulullah Saw ketika
beliau Saw tiba di Madinah”.[HR. Ibnu Hisyam dan Sirah Ibnu Hisyam]
Berdasarkan riwayat ini dapat disimpulkan; perkara-perkara yang hukum
asalnya mubah, jika di dalamnya mengandung bahaya yang pasti (muhaqqah),
maka perkara itu berhukum haram, sedangkan hukum asalnya tetaplah
mubah. Sebab, minum air dari sumur manapun, hukum asalnya adalah mubah,
termasuk air sumur Hijr. Larangan nabi saw agar para shahabat tidak
meminum airnya, tidak menggunakannya untuk berwudluk, dan untuk membuat
adonan roti, dikarenakan air tersebut mengandung bahaya. Keluarnya
seorang laki-laki di waktu malam sendirian, juga termasuk perkara mubah.
Adanya larangan dari Nabi saw agar para shahabat tidak keluar pada
waktu malam di tempat itu seorang diri disebabkan karena bahaya
(dlarar). Dengan demikian, perkara mubah (baik benda maupun perbuatan),
jika perkara tersebut mengandung bahaya, maka hukumnya menjadi haram
(karena bahaya yang dikandungnya), sedangkan hukum asalnya tetaplah
mubah.
Kedua , Bila dilakukan di dalam masjid, hukumnya adalah makruh. Pasalnya
ada larangan dari Nabi Mohammad saw bagi orang yang memakan bawang
putih atau bawang merah masuk ke dalam masjid, dikarenakan bau menyengat
yang dihasilkan dari keduanya. Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits
dari Jabir bin ’Abdullah ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا
”Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah, hendaknya ia
memisahkan diri dari kami, atau memisahkan diri dari masjid kami.” [HR.
Imam Bukhari]
Imam Bukhari juga mengetengahkan sebuah hadits bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ قَالَ
فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ وَأَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِقِدْرٍ فِيهِ خَضِرَاتٌ مِنْ
بُقُولٍ فَوَجَدَ لَهَا رِيحًا فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ بِمَا فِيهَا مِنْ
الْبُقُولِ فَقَالَ قَرِّبُوهَا إِلَى بَعْضِ أَصْحَابِهِ كَانَ مَعَهُ
فَلَمَّا رَآهُ كَرِهَ أَكْلَهَا قَالَ كُلْ فَإِنِّي أُنَاجِي مَنْ لَا
تُنَاجِي
”Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah, hendaklah ia
memisahkan diri dari kami, atau beliau bersabda, ”Hendaknya ia
memisahkan diri dari masjid kami dan hendaknya ia duduk di rumahnya”.
Sesungguhnya, Nabi saw diberi sebuah periuk yang di dalamnya terdapat
sayur-sayuran. Beliau mendapati bau dari sayuran itu. Lalu, beliau
bertanya, dan beliau diberitahu apa yang ada di sayuran itu. Lalu ia
(perawiy) berkata, “Para shahabat mendekatkan periuk itu ke beberapa
shahabat yang bersama Nabi. Ketika beliau melihatnya, maka beliau tidak
suka memakannya. Beliau saw bersabda, “Makanlah. Sesungguhnya aku
berbisikan dengan malaikat”. [HR. Imam Bukhari]
Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Jabir bin ’Abdullah ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ
مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ وَإِنَّهُ أُتِيَ بِقِدْرٍ فِيهِ
خَضِرَاتٌ مِنْ بُقُولٍ فَوَجَدَ لَهَا رِيحًا فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ بِمَا
فِيهَا مِنْ الْبُقُولِ فَقَالَ قَرِّبُوهَا إِلَى بَعْضِ أَصْحَابِهِ
فَلَمَّا رَآهُ كَرِهَ أَكْلَهَا قَالَ كُلْ فَإِنِّي أُنَاجِي مَنْ لَا
تُنَاجِي
”Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah, hendaknya ia
memisahkan diri dari kami, atau memisahkan diri dari masjid kami, dan
hendaknya ia duduk di rumahnya”. Nabi Saw diberi sebuah periuk yang di
dalamnya ada sayuran-sayuran, kemudian beliau saw mendapati bau. Lantas,
beliau bertanya, dan beliau diberitahu apa yang ada di dalam sayuran
itu. Kemudian perawi berkata, ”Para mendekatkannya kepada sebagian
shahabatnya. Tatkala beliau mengetahuinya, beliau tidak suka memakannya,
seraya berkata, ”Makanlah. Sesungguhnya aku berbisikan dengan
malaikat”. [HR. Imam Muslim]
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Nabi saw melarang orang yang memakan
bawang putih atau bawang merah mendekati masjid disebabkan karena
baunya yang mengganggu orang lain. Dengan demikian, larangan Nabi saw
disebabkan karena aroma atau bau menyengatnya; yang ini hal ini tentunya
menganggu orang lain yang hendak beribadah kepada Allah SWT. Alasan ini
diperkuat oleh hadits-hadits berikut ini. Dalam hadits yang dituturkan
oleh Imam Muslim dari Jabir ra , bahwasanya ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ
الْبَصَلِ وَالْكُرَّاثِ فَغَلَبَتْنَا الْحَاجَةُ فَأَكَلْنَا مِنْهَا
فَقَالَ مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ الْمُنْتِنَةِ فَلَا
يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَأَذَّى مِمَّا
يَتَأَذَّى مِنْهُ الْإِنْسُ
”Rasulullah saw melarang makan bawang mereka dan bawang bakung. Lalu,
kebutuhan begitu mendesak kami, hingga akhirnya kami memakannya. Nabi
saw bersabda, ”Barangsiapa memakan tumbuhan ini, janganlah mendekati
masjid kami. Sesungguhnya malaikat terganggu karenanya, begitu pula
manusia.” [HR. Imam Muslim]
Imam Muslim juga meriwayatkan sebuah hadits dari Jabir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ
مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ
بَنُو آدَمَ
”Barangsiapa memakan bawang merah, bawang putih, dan bawang bakung,
janganlah mendekati masjid kami. Sesungguhnya malaikat merasa terganggu,
sebagaimana anak Adam merasa terganggu darinya.” [HR. Imam Muslim]
Imam Muslim juga menuturkan sebuah hadits dari Umar ra bahwasanya ia sedang berkhuthbah;
إِنَّكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ تَأْكُلُونَ شَجَرَتَيْنِ لَا أَرَاهُمَا
إِلَّا خَبِيثَتَيْنِ هَذَا الْبَصَلَ وَالثُّومَ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ رِيحَهُمَا مِنْ
الرَّجُلِ فِي الْمَسْجِدِ أَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ إِلَى الْبَقِيعِ فَمَنْ
أَكَلَهُمَا فَلْيُمِتْهُمَا طَبْخًا حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي
عَرُوبَةَ قَالَ ح و حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ كِلَاهُمَا عَنْ شَبَابَةَ بْنِ سَوَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ جَمِيعًا عَنْ قَتَادَةَ فِي هَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ
”Wahai manusia, sesungguhnya kalian memakan dua tanaman yang menurutku
tidak baik, yakni bawang merah dan bawang puti. Sungguh, dahulu aku
melihat Rasulullah saw jika mendapati bau keduanya dari seseorang,
beliau menyuruh orang itu keluar dari masjid. Karenanya, jika kalian
ingin memakannya, hendaklah kalian memasaknya terlebih dahulu.” [HR.
Imam Muslim]
Berdasarkan hadits-hadits ini dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa orang
yang mengkonsumsi sesuatu yang menimbulkan bau tidak sedap, dan
berpotensi menganggu orang lain, semacam rokok dimakruhkan masuk ke
dalam masjid. Pasalnya, asap rokok jelas-jelas menyebarkan aroma atau
bau menyengat yang sangat mengganggu orang lain. Atas dasar itu,
seseorang makruh merokok di dalam masjid dikarenakan bisa mengganggu
orang lain.
Begitu pula jika seseorang merokok di tempat umum yang berpotensi
mengganggu orang lain, maka hukumnya makruh, berdasarkan riwayat-riwayat
di atas.
Ketiga, jika seseorang merokok, dan tidak menimbulkan dlarar yang
bersifat muhaqqah pada dirinya, serta dilakukan di tempat atau komunitas
yang tidak menganggu orang lain, maka status hukumnya adalah boleh.
Dalilnya adalah kebolehan memanfaatkan benda-benda mubah. Selain itu,
’illat yang menyebabkan pengharaman rokok, yakni bahaya yang bersifat
muhaqqah tidak terwujud pada orang tersebut; dan ia melakukan aktivitas
di suatu tempat dan komunitas yang tidak terganggu oleh asap rokok.
FootNote Sekaligus Referensi
[1] Ibnu ’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266
[2] Ibnu ’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266
[3] Ibnu ’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266
[4] Haasyiyyah al-Bajiiramiy ’Ala al-Khaathib, juz 5, hal. 475
[5] Fatawa al-Azhar, juz 5, hal. 499
[6] Fatawa al-Azhar, juz 7, hal. 247
[7] Fatawa Lajnah al-Daaimah li al-Buhuuts wa al-’Ilmiyyah wa al-Iftaa’, juz 7, hal. 282
[8] Ibnu ’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266
[9] Fatawa al-Azhar, juz 7, hal. 247
[10] Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 3, hal. 459
0 komentar:
Posting Komentar