Kamis, 17 Januari 2013

Makalah Kemitraan Sekolah, Keluarga Dan Masyarakat

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan paradigma dalam hal hubungan keluarga, sekolah dan masyarakat terjadi seiring perubahan yang terjadi di dunia pendidikan sebagai akibat dari berubahnya norma dan pranata masyarakat sebagai akibat dari perubahan zaman. Globalisasi, dengan revolusi informasi dan teknologinya, membuat dunia serasa semakin kecil. Batasan waktu dan ruang hamper tidak ada lagi. Arus informasi mengalir bebas dari satu belahan bumi ke belahan bumi lainnya.

Perubahan dan perkembangan ini menggeser paradigma dan tabu lama dalam hal hubungan sekolah, keluarga dan masyarakat. Dalam paradigma lama, keluarga, sekolah dan masyarakat dianggap sebagai institusi yang terpisah-pisah. Oleh karena itu, tabulah kalau masyarakat ikut campur tangan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Apalagi sampai masuk ke wilayah kewenangan professional guru.

Sebaliknya, dewasa ini dalam batas-batas tertentu, anggapan semacam itu tidak lagi berlaku. Keluarga berhak mengetahui apasaja yang diajarkan kepada anak. Dengan metode apa anak diajar. Disinilah hubungan antara keluarga dan sekolah mulai terjalin. Masyarakat pun berhak mengetahui apa yang terjadi di sekolah, bisa memberikan sumbang saran untuk peningkatan mutu pendidikan. Dari sinilah terjadi hubungan resiprokal saling mengisi dan saling member antara sekolah, keluarga dan masyarakat.

Hubungan resiprokal ini selanjutnya berkembang menjadi hubungan kemitraan. Kemitraan perlu ditumbuhkan, dikembangkan dan dipelihara karena aadanya masalah dan tantangan yang dihadapi dalam unpaya untuk memberikan pendidikan berkualitas prima.

Kompleksitas masalah yang melingkupi dunia pendidikan sebagai akibat dari perkembangan zaman dan tuntutan masyarakat membuat tidak ada satu pihak pun yang bisa memahami dan menyelesaikan masalah yang ada seorang diri. Tidak ada lagi single fighter yang bisa mengatasi semua masalah yang ada.

Pergeseran peran utama pemerintah dan swasta sebagai pemasok utama ke masyarakat membuat kemitraan semakin nyata urgensinya. Pemerintah dan swasta tidak bisa lagi berperan sebagai satu-satunya yang menyediakan, menyelenggarakan dan mengawasi keberlangsungan pendidikan karena keterbatasan sumber-sumber daya yang dimiliki. Untuk mengatasi permasalah ini, keterlibatan dan partisipasi masyarakat sangat diharapkan.

Kemitraan adalah solusi untuk mengatasi masalah kelangkaan dan distribusi sumberdaya di semua pihak. Kemitraan memungkinkan terjadinya sinergi untuk mencapai tujuan bersama. Ketika kita, pada satu sisi mengharapkan tersedianya pendidikan dengan kualitas prima sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman, mustahil kalau kita, keluarga dan masyarakat, hanya menumpukan beban di pundak sekolah dan penyelenggara persekolahan. Tuntutan akan tersedianya pendidikan berkualitas prima baru bisa dipenuhi manakala terjadi hubungan resiprokal aktif interaktif antara sekolah, keluarga dan masyarakat dalam konteks pemberdayaan.

Dalam konteks masa kini, partisipasi keluarga dan masyarakat dalam pendidikan tidak bisa lagi dipandang hanya sebatas kewajiban. Partisipasi masyarakat kini adalah hak (Dwiningrum; 2011:51). Karena sifatnya adalah hak, maka masyarakat seharusnya menuntut dirinya untuk menjalankan haknya dengan melibatkan diri dan berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Hubungan resiprokal sekolah, keluarga dan masyrakat diwujudkan dalam banyak hal. Ada yang bersinggungan langsung dengan proses pendidikan di sekolah. Ada yang tidak bersinggungan langsung dengan proses pendidikan di sekolah. Salah satu aplikasi bentuk kemitraan adalah komite sekolah. 


BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Kemitraan Sekolah, Keluarga Dan Masyarakat

A. Pengertian Kemitraan

Secara etimologis, kata atau istilah kemitraan adalah kata turunan dari kata dasar mitra. Mitra, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya teman, sahabat, kawan kerja. Visualsynonim, kamus online memberikan definisi yang sangat bagus mengenai kemitraan. Kemitraan diartikan sebagai hubungan kooperatif antara orang atau kelompok orang yang sepakat untuk berbagi tanggungjawab untuk mencapai tujuan tertentu yang sudah ditetapkan.

Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah dalam modul pemberdayaan Komite Sekolah menjelaskan bahwa yang dimaksud kemitraan dalam konteks hubungan resiprokal antara sekolah, keluarga dan masyarakat kemitraan bukan sekedar sekumpulan aturan main yang tertulis dan formal atau suatu kontrak kerja melainkan lebih menunjukkan perilaku hubungan yang bersifat intim antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing pihak saling membantu untuk mencapai tujuan bersama.

Dari definisi-definisi diatas kita bisa mengetahui bahwa hakikat kemitraan adalah adanya keinginan untuk berbagi tanggungjawab yang diwujudkan melalui perilaku hubungan dimana semua pihak yang terlibat saling bantu-membantu untuk mencapai tujuan bersama.

Dalam kemitraan yang berlaku adalah prinsip egaliter. Masing-masing pihak yang bermitra memiliki posisi dan tanggung jawab yang sama. Hubungan atasan-bawahan tidak berlaku dalam konteks kemitraan. Masing-masing menjalankan fungsi dan perannya sesuai dengan tugas dan batas-batas wewenang yang dimiliki.

Selain berkaitan dengan fungsi dan peran masing-masing dalam kemitraan, dalam kemitraan tercakup dimensi kepentingan yang dijadikan andalan. Model kemitraan mengandalkan pada kepentingan pribadi orangtua dan anggota masyarakat yang mau tidak mau membuat mereka berpartisipasi dalam aktifitas yang berkaitan dengan sekolah.

Kemitraan memandang semua pihak yang memiliki kepentingan terhadap sekolah merupakan pihak yang dapat didayagunakan dan mampu membantu sekolah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Ada hal-hal yang harus diperhatikan dalam kemitraan. Grant (1979:128) mengingatkan bahwa kemitraan tidak boleh mengabaikan prinsip akuntabilitas dan kemandirian. Dalam hal menumbuhkan kemandirian, secara eksplisit Grant menganjurkan agar setelah terbentuknya kelompok kemitraan masing-masing anggota harus menjaga kentralan khususnya dalam segi politik.


B. Pengertian Partisipasi

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, partisipasi adalah perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan atau keikutsertaan atau peran serta. Menurut Made Pidarta (dalam Dwiningrum 2011), partisipasi adalah pelibatan seseorang atau beberapa orang dalam suatu kegiatan. Keterlibatan dapat berupa keterlibatan mental dan emosi serta fisikdalam menggunakan segala kemampuan yang dimilikinya (berinisiatif) dalam segala kegiatan yang dilaksanakan serta mendukung pencapaian tujuan dan tanggung jawab atas segala keterlibatan.

Partisipasi merupakan keterlibatan mental dan emosi dari seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk menyokong kepada pencapaian tujuan pada tujuan kelompok tersebut dan ikut bertanggung jawab terhadap kelompoknya. Cohen dan Uphoff (1997) mengungkapkan partisipasii sebagai keterlibatan dalam proses pembuatan keputusan, pelaksanaan program, memperoleh kemanfaatan dan mengevaluasi program.


C. Komite Sekolah

Komite sekolah adalah lembaga mandiri yang dibentuk berrdasarkan prakarsa masyarakat yang peduli pendidikan, bukan didasarkan pada arahan atau instruksi dari lembaga pemerintahan dengan menganut prinsip transparan, akuntabel, dan demokratis.

Kebijakan tentang pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sebenarnya bukan hanya lahir secara intern dari Departemen Pendidikan Nasional, melainkan justru lahir dari Bappenas, dalam bentuk UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000 – 2004. Amanat UU itulah yang kemudian ditindaklanjuti oleh Mendiknas dengan Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.

Eksistensi dan posisi Komite Sekolah menjadi semakin kokoh karena adanya payung hukum Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tersebut kemudian diakomodasi ke dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya dalam Pasal 56.

Komite Sekolah adalah lembaga mandiri sebagai wadah yang memiliki kekuatan hukum untuk menampung dan mewujudkan partisipasi keluarga dan masyarakat dalam pendidikan. Namun demikian, perlu dipahami apa sebenarnya makna dari Komite Sekolah sebagai lembaga mandiri dan dari segi apa saja dia mandiri.

Untuk menjelaskan hal ini, Suparlan, dalam artikel yang dimuat di blog mengatakan bahwa kemandirian ini sama sekali tidak terkait dengan anggaran atau subsidi. Kemandirian Komite Sekolah sebenarnya terkait dengan dua hal penting. Pertama, terkait dengan status dan kedudukan Komite Sekolah itu sendiri. Dia tidak menjadi subordinasi (bawahan) dari lembaga lain, khususnya dari lembaga birokrasi.

Yang penting kedua adalah pelaksanaan peran dan fungsinya, yang sudah barang tentu tidak sama atau tidak tumpang tindih dengan peran dan fungsi lembaga lain. Dengan demikian, peran dan fungsi Komite Sekolah tidak dapat didekte oleh lembaga lain.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil masyrakat, komite tidak berada di bawah kendali sekolah ataupun kepala sekolah. Sebagai lembaga perwakilan masyarakat Komite Sekolah merupakan dan menjadi jembatan antara keluarga, masyarakat dan sekolah. Tugas yang dilakukan komite adalah tugas koordinatif dan pengawasan.

Namun demikian, pada beberapa kasus, komite sekolah tidak bisa mendudukkan peran dan fungsinya dalam pelaksanaan tugas sehingga bertindak sebagai atasan sekolah. Komite berusaha mengendalikan dan turut campur terlalu dalam pada persoalan-persoalan teknis profesional bidang pendidikan.

Sebaliknya, ada komite yang terlalu lemah sehingga dia hanya diperankan sebagai subordinasi sekolah atau kepala sekolah. Hal ini terjadi karena, selain tidak mengerti tugas dan fungsinya, perekrutan anggota komite ditentukan oleh kepala sekolah. Kepala sekolah yang menentukan siapa saja yang “layak” duduk sebagai anggota komite karena kepentingan tertentu. Pada kondisi semacam ini, komite sekolah hanya berfungsi tak ubahnya sebagai “tukang stempel” kebijakan yang dibuat oleh sekolah.

Kelemahan dan ketimpangan seperti ini merupakan sebuah keprihatinan yang harus segera diupayakan pemecahannya meskipun hal ini sifatnya kasuistis. Ketika Komite Sekolah berada di bawah kendali atau menjadi bawahan sekolah atau kepala sekolah, sebenarnya saat itu juga partispasi dann kemitraan antara sekolah, keluarga dan masyarakat tidak pernah terjadi. Meskipun secara de facto dan de jure komite sekolah ada. Hubungan resiprokal interaktif tidak pernah terwujud. Keterwakilan orangtua dan masyarakat tidak pernah terlaksana.


D. Jenjang Kerjasama Dalam Kemitraan

Kemitraan dalam opersionalnya merupakan sebuah kerjasama antara orang atau kelompok orang yang berkomitmen untuk berbagi tanggungjawab untuk mencapai satu tujuan bersama-pendidikan yang bermutu bagi semua, terutama bagi golongan masyarakat miskin. Dalam kerjsama tersebut terdapat berbagi jenjang:
  1. Jaringan (networking): berbagi informasi yang dapat membantu mitra untuk bekerja lebih baik.
  2. Koordinasi (coordination): berbagi informasi, melakukan penyesuaian agar dapat mengakomodasi yang lain supaya tidak saling konflik.
  3. Kooperasi (cooperation): berbagi informasi, melakukan penyesuaian agar dapat mengakomodasi yang lain dan secara nyata ada beberapa aspek pekerjaan yang menjadi tanggungjawab masing-masing.
  4. Kolaborasi (collaboration): berbagi informasi, melakukan penyesuaian agar dapat mengakomodasi yang lain, beberapa aspek dari pekerjaan menjadi tanggungjawab masing-masing sesuai bidang keahlian dan akhirnya berbagi hasil bersama.

E. Implementasi Kemitraan Dalam Pembangunan

Kemitraan dalam pembangunan diimplementasikan dengan menggunakan prinsip PACTS.
  • Partisipasi/Participation: Semua pihak memiliki kesempatan yang sama untuk menyatakan pendapat, memutuskan hal-hal yang menyangkut nasibnya dan bertanggung jawab atas semua keputusan yang telah diseakati bersama.
  • Akseptasi/Acceptable: saling menerima dengan apa adanya dalam kesetaraan. Masing-masing memiliki fungsinya sendiri-sendiri.
  • Komunikasi/Communication: masing-masing pihak harus mau dan mampu mengkomunikasikan dirinya serta rencana kerjanya sehingga dapat dikoordinasikan dan disinergikan.
  • Percaya/Trust: saling mempercayai dan dapat dipercaya untuk membina kerjasama. Di sini transparansi menjadi tuntutan dan tidak bisa ditawar.
  • Berbagi/Share: semua yang terlibat dalam kemitraan harus mampu membagikan diri dan miliknya (waktu,”harta” dan kemampuan) untuk mencapai tujuan bersama.
Implementasi PACTS dalam kemitraan tidak serta merta menghilangkan masalah atau potensi masalah selama berjalannya proses dan hubungan kemitraan. Masalah akan selalu ada sebagai bagian dari dinamika zaman dan keadaan yang ada. Selain itu, para pelaku kemitraan yang adalah manusia-manusia yang memiliki keunikan dan dinamis itu sendiri sebenarnya merupakan potensi masalah. Perbedaan latar belakang, nilai-nilai, pengalaman hidup yang dimiliki bisa menimbulkan gesekan dengan sesama mitra. Namun demikian, implementasi PACTS akan sangat membantu tidak hanya meminimalisir potensi konflik tetapi juga membuat kemitraan bisa berjalan sesuai yang diharapkan dan menghasilkan sesuatu yang baik—mutu pendidikan yang tinggi.


BAB III
PENUTUP


Komite Sekolah sebagai lembaga mandiri yang dibentuk atas dasar inisiatif masyarakat memiliki peran dan fungsi sangat penting dalam pendidikan. Ia adalah bentuk partisipasi langsung sekaligus menjadi wadah bagi keluarga dan masyarakat untuk berpartispasi dalam upaya penyediaan layanan pendidikan dengan berkualitas tinggi bagi semua terutama untuk golongan misikin.

Kedudukan sekolah, keluarga dan masyarakat yang dilembagakan dalam Komiite Sekolah adalah sama. Artinya, tidak ada pola hubungan kerja atasan-bawahan. Yang ada adalah mitra yang sama-sama memiliki komitmen dan tanggung jawab bersama untuk menentukan tujuan bersama.

Dalam pola kemitraan yang sifatnya sukarela tetapi sekaligus hak, prinsip yang diterapkan adalah prinsip egaliter. Kesetaraan dalam kemitraan diimplementasikan dalam prinsip PACTS dimana setiap orang memiliki partisipasi sesuai dengan kemampuannya, satu sama lain bisa saling menerima, yang bisa saling mengomunikasikan diri dan rencanya, direkatkan oleh rasa saling percaya juga kemauan untuk saling berbagi kemampuan, waktu dan “harta” untuk mencapai tujuan bersama.

Unduh Format DOC di Sini



DAFTAR RUJUKAN
  • Departemen Pendidikan Nasional Dirjen Mandikdasmen. 2006. Pemberdayaan Komite Sekolah.
  • Dwiningrum, Siti Irene Astuti. 2011. Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Grant, Carl A. 1979. Community Participation in Education. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
  • Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Suparlan. 2009. Arahan Pembinaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah Sampai Dengan Tahun 2009, (online), (http://www.suparlan.com/pages/posts/arah-pembinaan-dewan-pendidikan-dan-komite-sekolah-sampai-dengan-tahun-2009153.php) diakses 8 Oktober 2011

0 komentar:

Posting Komentar