Oleh : FhawZhand
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas curahan rahmat-Nya, sehingga penulisan makalah yang berjudul Sejarah Pahlawan Pattimura dapat diselesaikan.
Kami juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada teman-teman di kelas XI IPS II, dan orang tua kami yang selalu mendo’akan dan memberikan semangat kepada kami agar penulisan makalah ini dapat berjalan lancar. Tak lupa pula kami sampaikan terima kasih pada guru mata pelajaran “PKn “ di SMA Negeri 3 Polewali Pak Najib yang telah memberikan tugas pembuatan makalah ini sehingga pengetahuan kamipun semakin bertambah.
Kami berharap tugas ini dapat diterima dan bermanfaat bagi semua pihak. Namun kami menyadari bahwa tugas ini belum mencapai kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat kami harapkan.
DAFTAR ISI
1. Halaman judul ………………………………………………………………1
2. Kata Pengantar………………………………………………………………2
3. Daftar Isi……………………………………………………………………...3
4. Sejarah Pahlawan Pattimura………………………………………………..4
5. Makna Alinea 1,2,3,4 UUD 1945…………………………………………8-10
Sejarah Pahlawan Pattimura
Kapitan Pattimura (lahir di Hualoy, Hualoy, Seram Selatan, Maluku, 8
Juni 1783 – meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34
tahun), memiliki nama asli Ahmad Lussy [1], di sejarah versi pemerintah
ia dikenal dengan nama Thomas Matulessy atau Thomas Matulessia, adalah
seorang bangsawan dan ulama yang kelak kemudian dikenal sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia.
Nama dan Silsilah
Ahmad Lussy "Pattimura" atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Ia bangsawan dari kerajaan Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.
Ada versi sejarah yang menyebutkan bahwa ia adalah putra Frans Matulessia dengan Fransina Silahoi. Adapun dalam buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan".
Ada kejanggalan dalam keterangan di atas. Sapija tidak menyebut Sahulau itu adalah kesultanan. Kemudian ada penipuan dengan menambahkan marga Pattimura Mattulessy. Padahal di negeri Sahulau tidak ada marga Pattimura atau Mattulessy. Di sana hanya ada marga Kasimiliali yang leluhur mereka adalah Sultan Abdurrahman.
Jadi asal nama Pattimura dalam buku sejarah nasional adalah karangan dari Sapija. Sedangkan Mattulessy bukanlah marga melainkan nama, yaitu Ahmad Lussy. Dan nama Thomas Mattulessy sebenarnya tidak pernah ada di dalam sejarah perjuangan rakyat Maluku. Berbeda dengan Sapija, Mansyur Suryanegara berpendapat bahwa Pattimura itu marga yang masih ada sampai sekarang.
Nama dan Silsilah
Ahmad Lussy "Pattimura" atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Ia bangsawan dari kerajaan Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.
Ada versi sejarah yang menyebutkan bahwa ia adalah putra Frans Matulessia dengan Fransina Silahoi. Adapun dalam buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan".
Ada kejanggalan dalam keterangan di atas. Sapija tidak menyebut Sahulau itu adalah kesultanan. Kemudian ada penipuan dengan menambahkan marga Pattimura Mattulessy. Padahal di negeri Sahulau tidak ada marga Pattimura atau Mattulessy. Di sana hanya ada marga Kasimiliali yang leluhur mereka adalah Sultan Abdurrahman.
Jadi asal nama Pattimura dalam buku sejarah nasional adalah karangan dari Sapija. Sedangkan Mattulessy bukanlah marga melainkan nama, yaitu Ahmad Lussy. Dan nama Thomas Mattulessy sebenarnya tidak pernah ada di dalam sejarah perjuangan rakyat Maluku. Berbeda dengan Sapija, Mansyur Suryanegara berpendapat bahwa Pattimura itu marga yang masih ada sampai sekarang.
Istilah Kapitan
Dari sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, gelar kapitan adalah pemberian Belanda. Padahal tidak.
Menurut Sejarawan Mansyur Suryanegara, leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis). Keyakinan mereka terhadap sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya dikendalikan kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.
Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus yang dimiliki seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai sesuatu peristiwa yang mulia dan suci. Bila ia melekat pada seseorang, maka orang itu adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat-sifat itu melekat dan berproses turun-temurun. Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan "kapitan" yang melekat pada diri Pattimura itu bermula.
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian Belanda menetrapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahn dinas militer ini dipaksakan [6] Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura [5] Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.
Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN” oleh pemerintah Republik Indonesia Pahlawan Nasional Indonesia.
Perlawanan rakyat di bawah komando Kapitan Pattimura itu terekam dalam tradisi lisan Maluku yang dikenal dengan petatah-petitih. Tradisi lisan ini justru lebih bisa dipertanggung jawabkan daripada data tertulis dari Belanda yang cenderung menyudutkan pahlawan Indonesia. Di antara petatah-petitih itu adalah sebagai berikut:
Yami Patasiwa
Yami Patalima
Yami Yama'a Kapitan Mat Lussy
Matulu lalau hato Sapambuine
Ma Parang kua Kompania
Yami yama'a Kapitan Mat Lussy
Isa Nusa messe
Hario,
Hario,
Manu rusi'a yare uleu uleu `o
Manu yasamma yare uleu-uleu `o
Talano utala yare uleu-uleu `o
Melano lette tuttua murine
Yami malawan sua mena miyo
Yami malawan sua muri neyo
Artinya
Kami Patasiwa
Kami Patalima
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Semua turun ke kota Saparua
Berperang dengan Kompeni Belanda
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Menjaga dan mempertahankan
Semua pulau-pulau ini
Tapi pemimpin sudah dibawa ditangkap
Mari pulang semua
Ke kampung halaman masing-masing
Burung-burung garuda (laskar-laskar Hualoy)
Sudah pulang-sudah pulang
Burung-burung talang (laskar-laskar sekutu pulau-pulau)
Sudah pulang-sudah pulang
Ke kampung halaman mereka
Di balik Nunusaku
Kami sudah perang dengan Belanda
Mengepung mereka dari depan
Mengepung mereka dari belakang
Kami sudah perang dengan Belanda
Memukul mereka dari depan
Memukul mereka dari belakang)
Kata-Kata
Ketika Ahmad Lussy "Pattimura" akan dihukum gantung oleh Belanda, ada sebuah kata-kata yang ia ungkapkan kemudian tercatat dalam sejarah. Nunu oli
Nunu seli
Nunu karipatu
Patue karinunu
(Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah beringin besar dan setiap beringin besar akan tumbang tapi beringin lain akan menggantinya (demikian pula) saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah batu besar dan setiap batu besar akan terguling tapi batu lain akan menggantinya).
Ucapan-ucapan puitis yang penuh tamsil itu diucapkan oleh Kapitan Ahmad Lussy atau dikenal dengan sebutan Pattimura, pahlawan dari Maluku. Saat itu, 16 Desember 1817, tali hukuman gantung telah terlilit di lehernya. Dari ucapan-ucapannya, tampak bahwa Ahmad Lussy seorang patriot yang berjiwa besar. Dia tidak takut ancaman maut. Wataknya teguh, memiliki kepribadian dan harga diri di hadapan musuh. Ahmad Lussy juga tampak optimis.
MAKNA ALINEA KE 1, 2, 3 DAN 4 PEMBUKAAN UUD 45
Alinea ke 1
Alinea pertama merupakan asas dalam mendirikan negara, yang terdiri dari dua hal :
pertama : kemerdekaan adalah hak segala bangsa. kedua : penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dengan demikian jelas bahwa negara yang didirikan oleh bangsa Indonesia adalah sebuah negara bangsa (nation state) yang berdiri di atas hak yang dimilikinya, yaitu hak untuk merdeka. Hal ini dipertegas dalam alinea ke empat yang menyebutkan “Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia”. Atas dasar asas tersebut, nasionalisme yang dibangun Indonesia pasti bukan nasionalisme yang chauvinistik, bukan pula jingo nasionalism, melainkan nasionalisme yang berperikemusiaan dan berperikeadilan. Nasionalisme yang akan dibangun adalah nasionalisme yang menjunjung tinggi hak kemerdekaan semua bangsa, untuk menjalin hubungan saling hormat menghormati dengan kewajiban untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Atas dasar kesadaran itu, maka penjajahan di muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Berdasarkan prinsip tersebut, maka dapat diketahui bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang dijiwai perikemanusiaan dan perikeadilan. Oleh karena itu nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang anti penindasan, baik penindasan bangsa atas bangsa (exploitation de nation par nation) maupun penindasan manusia atas manusia (exploitation de l’homme par l’homme).
Alinea ke 2
Visi bangsa Indonesia dalam mendirikan negara bangsa yang merdeka dengan jelas diungkapkan dalam alinea ke dua, yaitu : negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Negara yang merdeka, bersatu dan berdaulat bermakna sebagai negara bangsa (nation state) yang bebas dari penjajahan maupun penindasan negara lain, serta berhak menentukan segala kebijakannya berdasarkan kedaulatan yang dimilikinya. Disadari sepenuhnya bahwa kekuatan Indonesia untuk mencapai cita-cita kemerdekaaanya adalah tumbuh dan berkembangnya kesadaran dan semangat persatuan bangsa dan kesatuan wilayah. Pluralisme yang ada bukanlah untuk mengedepankan kepentingannya sendiri, melainkan untuk saling mendukung guna membangun kekuatan bersama. Kesadaran akan adanya saling ketergantungan antar wilayah yang beragam itulah yang merupakan sumber kekuatan Indonesia, sehingga Indonesia akan menjadi negara yang tidak akan tergantung pada dan didikte oleh negara atau kekuatan lain.
Seperti halnya dengan bangsa-bangsa lain, untuk menegakkan kemerdekaan dan kedaulatannya bangsa Indonesia berpegang pada tiga prinsip kemerdekaan yang oleh Bung Karno disebut “Trisakti”, yaitu :
• berdaulat di bidang politik.
• berdikari di bidang ekonomi.
• berkepribadian di bidang kebudayaan.
Sedangkan adil dan makmur adalah kondisi kehidupan yang menjadi tujuan dalam mendirikan negara. Kemakmuran yang akan dibangun adalah kemakmuran untuk semua, kemakmuran untuk bangsa Indonesia secara keseluruhan yang terdistribusi secara adil. Oleh karena itu dasar pengelolaan kesejahteraan tersebut harus berasaskan kekeluargaan yang bersumber pada prinsip kesederajadan dan kebersamaan. Tidak bisa tidak, demokrasi ekonomi dan demokrasi politik harus ditegakkan. Kondisi masyarakat yang sejahtera lahir dan batin itulah yang disebut sebagai Sosialisme Indonesia, yang tak lain adalah masyarakat Gotong Royong.
Alinea ke 3
Berdasarkan asas kemerdekaan dan visi yang ingin diwujudkan, bangsa Indonesia sebagai bangsa yang religius, menyadari sepenuhnya bahwa kemerdekaan yang telah dicanangkan, kemerdekaan yang diperjuangkan dengan berbagai pengorbanan, hanya dapat terlaksana, sepenuhnya berkat rahmat Tuhan Y.M.E. Hal ini terungkap dalam alinea ke tiga.
Alinea ke 4
Selanjutnya dalam alinea ke empat diungkapkan tentang prinsip-prinsip dibentuknya Pemerintah sebagai instrumen politik dan tugasnya. Untuk memberikan landasan dan acuan bagi penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan bernegara, disusunlah Undang-Undang Dasar. Sedangkan bentuk negara ditetapkan sebagai Republik yang berkedaulatan rakyat, artinya Indonesia adalah sebuah republik yang bersifat demokratis. Sedangkan sebagai dasar negara adalah Pancasila.
Untuk menjamin terwujudnya visi yang telah ditetapkan, Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan kepada Pemerintah untuk melaksanakan dua tugas pokok ke dalam :
pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
kedua, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa
ke luar ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dari tugas yang diamanatkan kepada Pemerintah tersebut dengan jelas termaktub bahwa Indonesia, baik sebagai bangsa maupun sebagai wilayah adalah satu kesatuan yang utuh, sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam Sumpah Pemuda. Kesadaran atas kesatuan yang utuh itulah yang merupakan sumber bagi dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Amanat untuk memajukan kesejahteraan umum mempunyai makna untuk memajukan kesejahteraan bagi rakyat secara keseluruhan, bukan hanya kesejahteraan orang per orang. Oleh karena itu perlu disusun suatu sistem yang dapat menjamin terselenggaranya keadilan sosial. Dan kesejahteraan yang harus diciptakan bukan hanya sekedar kesejahteraan ekonomis, bukan sekedar kesejahteraan material, melainkan kesejahteraan lahir dan batin, kesejahteraan material dan spiritual. Artinya kesejahteraan material itu harus terselenggara dalam masyarakat yang saling menghormati dan menghargai hak dan kewajiban masing-masing, masyarakat yang bebas dari rasa takut, masyarakat yang hidup dalam kesederajadan dan kebersamaan, masyarakat yang bergotong-royong. Masyarakat adil, makmur dan beradab itulah warna dari Sosialisme Indonesia.
Amanat tersebut terkait dengan amanat berikutnya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa yang bermakna membangun peradaban bangsa, sehingga bangsa Indonesia akan mampu hadir sebagai bangsa yang memiliki kepribadian nasional yang bersumber kepada nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi nasional Indonesia, yaitu Pancasila. Dengan kepribadian nasional yang dimilikinya itu bangsa Indonesia akan memiliki kepercayaan diri, akan memiliki national dignity. Untuk membangun peradaban bangsa inilah diperlukan kecerdasan intelektual, emosional, afirmatif (dari affirmative intelegents – kecerdasan untuk mengambil keputusan) dan spiritual, untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan bangsa dan negara, sehingga mutlak perlu dilaksanakan nation and character building.
Daftar Rujukan
Dari sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, gelar kapitan adalah pemberian Belanda. Padahal tidak.
Menurut Sejarawan Mansyur Suryanegara, leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis). Keyakinan mereka terhadap sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya dikendalikan kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.
Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus yang dimiliki seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai sesuatu peristiwa yang mulia dan suci. Bila ia melekat pada seseorang, maka orang itu adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat-sifat itu melekat dan berproses turun-temurun. Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan "kapitan" yang melekat pada diri Pattimura itu bermula.
Perjuangan
Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam
militer sebagai mantan sersan Militer Inggris.[4] Kata "Maluku" berasal
dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik yang berarti Tanah Raja-Raja.[5]
mengingat pada masa itu banyaknya kerajaanPada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian Belanda menetrapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahn dinas militer ini dipaksakan [6] Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura [5] Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.
Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN” oleh pemerintah Republik Indonesia Pahlawan Nasional Indonesia.
Perlawanan rakyat di bawah komando Kapitan Pattimura itu terekam dalam tradisi lisan Maluku yang dikenal dengan petatah-petitih. Tradisi lisan ini justru lebih bisa dipertanggung jawabkan daripada data tertulis dari Belanda yang cenderung menyudutkan pahlawan Indonesia. Di antara petatah-petitih itu adalah sebagai berikut:
Yami Patasiwa
Yami Patalima
Yami Yama'a Kapitan Mat Lussy
Matulu lalau hato Sapambuine
Ma Parang kua Kompania
Yami yama'a Kapitan Mat Lussy
Isa Nusa messe
Hario,
Hario,
Manu rusi'a yare uleu uleu `o
Manu yasamma yare uleu-uleu `o
Talano utala yare uleu-uleu `o
Melano lette tuttua murine
Yami malawan sua mena miyo
Yami malawan sua muri neyo
Artinya
Kami Patasiwa
Kami Patalima
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Semua turun ke kota Saparua
Berperang dengan Kompeni Belanda
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Menjaga dan mempertahankan
Semua pulau-pulau ini
Tapi pemimpin sudah dibawa ditangkap
Mari pulang semua
Ke kampung halaman masing-masing
Burung-burung garuda (laskar-laskar Hualoy)
Sudah pulang-sudah pulang
Burung-burung talang (laskar-laskar sekutu pulau-pulau)
Sudah pulang-sudah pulang
Ke kampung halaman mereka
Di balik Nunusaku
Kami sudah perang dengan Belanda
Mengepung mereka dari depan
Mengepung mereka dari belakang
Kami sudah perang dengan Belanda
Memukul mereka dari depan
Memukul mereka dari belakang)
Kata-Kata
Ketika Ahmad Lussy "Pattimura" akan dihukum gantung oleh Belanda, ada sebuah kata-kata yang ia ungkapkan kemudian tercatat dalam sejarah. Nunu oli
Nunu seli
Nunu karipatu
Patue karinunu
(Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah beringin besar dan setiap beringin besar akan tumbang tapi beringin lain akan menggantinya (demikian pula) saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah batu besar dan setiap batu besar akan terguling tapi batu lain akan menggantinya).
Ucapan-ucapan puitis yang penuh tamsil itu diucapkan oleh Kapitan Ahmad Lussy atau dikenal dengan sebutan Pattimura, pahlawan dari Maluku. Saat itu, 16 Desember 1817, tali hukuman gantung telah terlilit di lehernya. Dari ucapan-ucapannya, tampak bahwa Ahmad Lussy seorang patriot yang berjiwa besar. Dia tidak takut ancaman maut. Wataknya teguh, memiliki kepribadian dan harga diri di hadapan musuh. Ahmad Lussy juga tampak optimis.
MAKNA ALINEA KE 1, 2, 3 DAN 4 PEMBUKAAN UUD 45
Alinea ke 1
Alinea pertama merupakan asas dalam mendirikan negara, yang terdiri dari dua hal :
pertama : kemerdekaan adalah hak segala bangsa. kedua : penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dengan demikian jelas bahwa negara yang didirikan oleh bangsa Indonesia adalah sebuah negara bangsa (nation state) yang berdiri di atas hak yang dimilikinya, yaitu hak untuk merdeka. Hal ini dipertegas dalam alinea ke empat yang menyebutkan “Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia”. Atas dasar asas tersebut, nasionalisme yang dibangun Indonesia pasti bukan nasionalisme yang chauvinistik, bukan pula jingo nasionalism, melainkan nasionalisme yang berperikemusiaan dan berperikeadilan. Nasionalisme yang akan dibangun adalah nasionalisme yang menjunjung tinggi hak kemerdekaan semua bangsa, untuk menjalin hubungan saling hormat menghormati dengan kewajiban untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Atas dasar kesadaran itu, maka penjajahan di muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Berdasarkan prinsip tersebut, maka dapat diketahui bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang dijiwai perikemanusiaan dan perikeadilan. Oleh karena itu nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang anti penindasan, baik penindasan bangsa atas bangsa (exploitation de nation par nation) maupun penindasan manusia atas manusia (exploitation de l’homme par l’homme).
Alinea ke 2
Visi bangsa Indonesia dalam mendirikan negara bangsa yang merdeka dengan jelas diungkapkan dalam alinea ke dua, yaitu : negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Negara yang merdeka, bersatu dan berdaulat bermakna sebagai negara bangsa (nation state) yang bebas dari penjajahan maupun penindasan negara lain, serta berhak menentukan segala kebijakannya berdasarkan kedaulatan yang dimilikinya. Disadari sepenuhnya bahwa kekuatan Indonesia untuk mencapai cita-cita kemerdekaaanya adalah tumbuh dan berkembangnya kesadaran dan semangat persatuan bangsa dan kesatuan wilayah. Pluralisme yang ada bukanlah untuk mengedepankan kepentingannya sendiri, melainkan untuk saling mendukung guna membangun kekuatan bersama. Kesadaran akan adanya saling ketergantungan antar wilayah yang beragam itulah yang merupakan sumber kekuatan Indonesia, sehingga Indonesia akan menjadi negara yang tidak akan tergantung pada dan didikte oleh negara atau kekuatan lain.
Seperti halnya dengan bangsa-bangsa lain, untuk menegakkan kemerdekaan dan kedaulatannya bangsa Indonesia berpegang pada tiga prinsip kemerdekaan yang oleh Bung Karno disebut “Trisakti”, yaitu :
• berdaulat di bidang politik.
• berdikari di bidang ekonomi.
• berkepribadian di bidang kebudayaan.
Sedangkan adil dan makmur adalah kondisi kehidupan yang menjadi tujuan dalam mendirikan negara. Kemakmuran yang akan dibangun adalah kemakmuran untuk semua, kemakmuran untuk bangsa Indonesia secara keseluruhan yang terdistribusi secara adil. Oleh karena itu dasar pengelolaan kesejahteraan tersebut harus berasaskan kekeluargaan yang bersumber pada prinsip kesederajadan dan kebersamaan. Tidak bisa tidak, demokrasi ekonomi dan demokrasi politik harus ditegakkan. Kondisi masyarakat yang sejahtera lahir dan batin itulah yang disebut sebagai Sosialisme Indonesia, yang tak lain adalah masyarakat Gotong Royong.
Alinea ke 3
Berdasarkan asas kemerdekaan dan visi yang ingin diwujudkan, bangsa Indonesia sebagai bangsa yang religius, menyadari sepenuhnya bahwa kemerdekaan yang telah dicanangkan, kemerdekaan yang diperjuangkan dengan berbagai pengorbanan, hanya dapat terlaksana, sepenuhnya berkat rahmat Tuhan Y.M.E. Hal ini terungkap dalam alinea ke tiga.
Alinea ke 4
Selanjutnya dalam alinea ke empat diungkapkan tentang prinsip-prinsip dibentuknya Pemerintah sebagai instrumen politik dan tugasnya. Untuk memberikan landasan dan acuan bagi penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan bernegara, disusunlah Undang-Undang Dasar. Sedangkan bentuk negara ditetapkan sebagai Republik yang berkedaulatan rakyat, artinya Indonesia adalah sebuah republik yang bersifat demokratis. Sedangkan sebagai dasar negara adalah Pancasila.
Untuk menjamin terwujudnya visi yang telah ditetapkan, Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan kepada Pemerintah untuk melaksanakan dua tugas pokok ke dalam :
pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
kedua, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa
ke luar ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dari tugas yang diamanatkan kepada Pemerintah tersebut dengan jelas termaktub bahwa Indonesia, baik sebagai bangsa maupun sebagai wilayah adalah satu kesatuan yang utuh, sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam Sumpah Pemuda. Kesadaran atas kesatuan yang utuh itulah yang merupakan sumber bagi dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Amanat untuk memajukan kesejahteraan umum mempunyai makna untuk memajukan kesejahteraan bagi rakyat secara keseluruhan, bukan hanya kesejahteraan orang per orang. Oleh karena itu perlu disusun suatu sistem yang dapat menjamin terselenggaranya keadilan sosial. Dan kesejahteraan yang harus diciptakan bukan hanya sekedar kesejahteraan ekonomis, bukan sekedar kesejahteraan material, melainkan kesejahteraan lahir dan batin, kesejahteraan material dan spiritual. Artinya kesejahteraan material itu harus terselenggara dalam masyarakat yang saling menghormati dan menghargai hak dan kewajiban masing-masing, masyarakat yang bebas dari rasa takut, masyarakat yang hidup dalam kesederajadan dan kebersamaan, masyarakat yang bergotong-royong. Masyarakat adil, makmur dan beradab itulah warna dari Sosialisme Indonesia.
Amanat tersebut terkait dengan amanat berikutnya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa yang bermakna membangun peradaban bangsa, sehingga bangsa Indonesia akan mampu hadir sebagai bangsa yang memiliki kepribadian nasional yang bersumber kepada nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi nasional Indonesia, yaitu Pancasila. Dengan kepribadian nasional yang dimilikinya itu bangsa Indonesia akan memiliki kepercayaan diri, akan memiliki national dignity. Untuk membangun peradaban bangsa inilah diperlukan kecerdasan intelektual, emosional, afirmatif (dari affirmative intelegents – kecerdasan untuk mengambil keputusan) dan spiritual, untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan bangsa dan negara, sehingga mutlak perlu dilaksanakan nation and character building.
Daftar Rujukan
0 komentar:
Posting Komentar